Badan Pusat StatistikBadan Pusat Statistik
Badan Pusat Statistik

Rokok vs. Kemiskinan

Rokok vs. Kemiskinan

16 Februari 2016 | Kegiatan Statistik


“Kenapa sih rokok harus diperhitungkan dalam menghitung kemiskinan? Memangnya rokok itu sekarang sudah masuk dalam kategori Sembilan bahan pokok ya?” celoteh Mawar (bukan nama sebenarnya) seorang wartawati setelah mendengarkan rilis dari BPS tentang angka kemiskinan.


Mawar mungkin hanyalah satu dari sekian banyak orang yang juga mempertanyakan, mengapa rokok, yang notabene keberadaannya ‘dimusuhi’ oleh berbagai pihak, justru dimasukkan dalam salah satu komponen untuk menghitung garis kemiskinan. Beberapa media bahkan berkunjung langsung menemui Suryamin, Kepala BPS untuk mengklarifikasi hal tersebut. Sebagai pegawai BPS, kita tentu dituntut paham mengenai hal ikhwal rokok dan kemiskinan ini. Berikut penjelasan ringkasnya.

BPS pertama kali melakukan penghitungan jumlah dan persentase penduduk miskin pada tahun 1984. Ketika itu, penghitungannya mencakup periode 1976-1981 dengan menggunakan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) modul konsumsi. Sejak itu, setiap tiga tahun BPS rutin mengeluarkan data kemiskinan yang disajikan menurut daerah perkotaan dan perdesaan. Mulai 2003, BPS rutin mengeluarkan data tersebut setiap tahun. Hal ini karena sejak 2003 BPS mengumpulkan data Susenas Panel Modul Konsumsi setiap bulan Februari atau Maret.

Mengurut perihal angka kemiskinan, kita memang perlu tahu bagaimana cara menghitungnya. Penghitungan kemiskinan BPS mengacu pada pendekatan kebutuhan dasar. Komponen kebutuhan dasar ini terdiri dari kebutuhan makanan dan bukan makanan yang disusun menurut daerah perkotaan dan perdesaan yang diambil dari hasil Susenas. Mulai tahun 1998 pendekatan kebutuhan dasar yang digunakan BPS telah disempurnakan, menjadi 52 jenis komoditi makanan dan 51 komoditi bukan makanan (perkotaan) dan 47 komoditi (perdesaan). Dengan pendekatan ini, kemiskinan merupakan ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran, yang kemudian batasan dari sisi pengeluaran inilah disebut sebagai Garis Kemiskinan.

Garis Kemiskinan (GK) terdiri dari garis kemiskinan makanan (GKM) dan garis kemiskinan non makanan (GKMN). Dalam menentukan GKM, perlu ditentukan penduduk referensi. Penduduk referensi adalah 20% penduduk yang berada di atas garis kemiskinan sementara (GKS). GKS diperoleh dari GK periode sebelumnya dan di-inflate dengan inflasi tahun berjalan.

GKM adalah jumlah nilai pengeluaran dari 52 komoditi dasar makanan (termasuk didalamnya beras, daging, telur, rokok, dll) yang riil dikonsumsi penduduk referensi, kemudian disetarakan dengan 2100 kilokalori perkapita/hari. Misalkan untuk memenuhi kebutuhan 52 komoditi tersebut perlu dikeluarkan Rp300.000, dan total kalori yang didapat dari 52 komoditi tersebut adalah 1500 kilokalori. Artinya, setiap memenuhi 1 kilokalori diperlukan uang sebesar Rp200 dan untuk memenuhi 2100 kilokalori berarti dibutuhkan uang senilai Rp420.000. Maka didapatlah GKM saat ini adalah Rp420.000.

Setelah menghitung GKM, kita juga perlu menghitung GKNM. GKNM merupakan penjumlahan nilai kebutuhan minimum dari komoditi non makanan terpilih yaitu perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan. Nilai kebutuhan minimum ini dihitung dengan menggunakan suatu rasio pengeluaran yang didapat dari hasil Survei Paket Komoditi Kebutuhan Dasar (SPKKD2004).

Penjumlahan GKM dan GKNM inilah yang kemudian menjadi GK. Penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita/bulan dibawah GK dikategorikan sebagai penduduk miskin. Setelah diperoleh penduduk miskin, ini kemudian dilihat lagi pola konsumsinya dari modul konsumsi Susenas.

Pada tahap inilah dapat terlihat share masing-masing komoditi baik makanan maupun non makanan terhadap garis kemiskinan. Seperti kita ketahui, bahwa rokok memiliki share terbesar kedua setelah beras baik di pedesaan maupun perkotaan. Suryamin, dalam beberapa kesempatan wawancara langsung oleh media memaparkan “Ketika seseorang yang dikatakan miskin ini mengkonsumsi rokok, ada kemungkinan Ia menjadi tidak miskin apabila mengalihkan pengeluarannya untuk rokok menjadi pengeluaran untuk komoditi makanan yang memiliki kilokalori”.

Nah, merunut pada rilis kemiskinan yang dilansir oleh BPS terakhir, dengan sumbangan rokok pada GKM sebesar 8,08% (perkotaan) dan 7,68% (pedesaan), memang jelas dapat dikatakan bahwa orang yang dikategorikan miskin ternyata banyak yang mengkonsumsi rokok. Bukan berarti orang yang tidak miskin tidak merokok, tetapi bagi mereka share pengeluaran rokok ini sangatlah kecil dibandingkan pengeluaran untuk barang-barang mewah lainnya.

Pada tahun 2015 saja, dari hasil Susenas, dapat dilihat bahwa penduduk berusia 15 tahun keatas yang mengkonsumsi rokok sebesar 22,57 persen di perkotaan dan 25,05 persen di pedesaan. Rata-rata jumlah batang rokok yang dihabiskan selama seminggu mencapai 76 batang di perkotaan dan 80 batang di pedesaan. Luar biasa banyak. Jadi, bagaimana menurut Anda, apakah rokok yang menyebabkan kemiskinan?
-Ferika
Badan Pusat Statistik

Badan Pusat Statistik

Badan Pusat Statistik (BPS - Statistics Indonesia) Jl. Dr. Sutomo 6-8 Jakarta 10710 Indonesia

Telp (62-21) 3841195

3842508

3810291

Faks (62-21) 3857046

Mailbox : bpshq@bps.go.id

logo_footer

Hak Cipta © 2023 Badan Pusat Statistik